Oh, lihat Ibu Pertiwi...
Sedang
bersusah hati...
Air
matanya berlinang...
‘Mas
intannya terkenang...
Salah satu bait yang terdapat dalam lagu berjudul “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Berulang kali, mungkin tak pernah terhitung telah berapa kali kita menyenandungkannya. Tapi, pernahkah kita renungkan maknanya? Apa yang tertuang dalam bait lagu ini sangat tepat untuk mewakili kondisi bangsa tercinta kita saat ini.
Indonesia, negara kaya yang terdiri
atas lebih dari 237 juta penduduk ini masih saja diselimuti dengan berbagai
masalah kependudukan, terutama bagi para remaja. Masalah yang sedang kita
hadapi tidaklah sesimpel satu ditambah satu sama dengan dua, masalah yang konon
tak bisa dipecahkan dengan rumus-rumus eksak paling canggih sekalipun.
Letak geografis Indonesia yang
berbatasan langsung dengan negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,
Timor Leste, dan Papua Nugini menimbulkan masalah tersendiri di daerah
perbatasan. Misalnya tentang NAPZA. Bukanlah hal yang asing lagi tatkala kita
mendengar kasus-kasus penyelundupan NAPZA melalui daerah perbatasan. Nun di
tapal batas sana, ada beberapa pos perbatasan yang tidak dijaga dengan ketat,
dan hal ini menjadi celah bagi masuknya NAPZA secara ilegal dan bebas ke
Indonesia. Akibatnya, banyak penduduk Indonesia yang terjerumus ke dalam jurang
NAPZA.
Salah satu patok batas Indonesia-Malaysia |
Penggunaan NAPZA melalui jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama
dapat menularkan virus HIV dari satu orang ke orang yang lainnya. Hal ini tentu
saja akan menyebabkan berkembangnya penyakit AIDS. Pada akhir tahun 2012,
diperkirakan ada lebih dari 500 ribu penderita AIDS di Indonesia. Sungguh
jumlah yang sangat fantastis, apalagi mayoritas penderitanya adalah remaja,
generasi yang diharapkan dapat meneruskan estafet pembangunan bangsa ini.
Dampak sosial dari industrialisasi sawit pun turut menyumbangkan permasalahan bagi Indonesia. Dari hasil survey yang dilakukan di salah satu daerah perkebunan sawit di Kalimantan Barat, pembangunan perkebunan sawit berbanding lurus dengan pembangunan tempat-tempat hiburan malam disekitarnya. Hal ini menyebabkan semakin bebasnya pergaulan para remaja disana, dan tak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak anak-anak tak berdosa yang lahir tanpa ayah.
Dampak sosial dari industrialisasi sawit pun turut menyumbangkan permasalahan bagi Indonesia. Dari hasil survey yang dilakukan di salah satu daerah perkebunan sawit di Kalimantan Barat, pembangunan perkebunan sawit berbanding lurus dengan pembangunan tempat-tempat hiburan malam disekitarnya. Hal ini menyebabkan semakin bebasnya pergaulan para remaja disana, dan tak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak anak-anak tak berdosa yang lahir tanpa ayah.
Married
by accident bukanlah hal tabu lagi bagi para muda-mudi saat ini. Telah
terjadi pergeseran budaya yang sangat, sangat jauh dalam beberapa tahun
belakangan. Nilai budaya dan norma kesopanan sudah banyak yang berubah –untuk tidak
menyebutnya sengaja diubah- karena sebuah proses yang kerap kali kita sebut “era
globalisasi”.
Masih segar dalam ingatan saya pada
saat saya masih sangat kecil, mungkin masih duduk di bangku TK, banyak tayangan
televisi yang menayangkan sanksi sosial bagi para pelanggar norma-norma yang
berlaku saat itu. Film WARKOP DKI misalnya, ada satu adegan dimana Dono sedang
berdua-duaan dengan seorang wanita pada malam hari dan dipergoki oleh petugas –seperti
polisi syariat di Aceh- yang sedang melakukan ronda. Atas perbuatannya, Dono
diwajibkan untuk segera menikahi wanita tersebut. Padahal, apa yang dilakukan oleh
Dono dan wanita itu sudah sangat lazim dilakukan kaum muda saat ini. Dan apa
yang dilakukan oleh orang-orang yang melihatnya? Kebanyakan acuh tak acuh. Tak
peduli.
Warkop DKI |
Ada lagi satu adegan film yang lebih
ekstrem sanksi sosialnya, tapi saya lupa judul filmnya. Dalam adegan itu, pasangan
yang hamil diluar nikah dibawa ke suatu tempat, kemudian dicukur rambutnya
hingga gundul dan diusir dari kampung tersebut. Semua warga menyaksikan prosesi
itu, hingga tak dapat saya bayangkan betapa malu dan menyesal orang-orang yang
melanggar norma-norma yang berlaku di daerah tersebut.
Beda dulu, beda sekarang. Jika diperhatikan
dengan seksama, acara-acara yang ditayangkan oleh televisi kita saat ini sangat
berbanding terbalik dengan zaman dulu. Bayangkan saja, saat pacaran sudah
menjadi trend, saat kawin-cerai menjadi lifestyle, saat hubungan haram
dilakukan tanpa rasa dosa... Hei, apa yang akan terjadi pada generasi muda
mendatang?
Televisi dan internet merupakan media
yang paling besar dan cepat mempengaruhi rakyat Indonesia. Menurut saya, untuk
menanggulangi badai globalisasi yang tanpa filter itu, kita bisa memulainya
dengan memilah tayangan dan situs apa saja yang boleh diakses oleh remaja
seusia kita. Adapun untuk melakukan pencegahan dini bagi adik-adik kita yang
baru menginjak usia remajanya, yang masih sibuk coba-coba demi menemukan jati
dirinya, bisa dilakukan sosialisasi melalui dongeng dan wayang-wayangan di
lingkungan sekolah maupun masyarakat. Sedini mungkin, yang harus kita lakukan
adalah memberikan pandangan dan pemahaman tentang mendidik anak dengan baik dan
benar kepada para orang tua, guru pertama bagi anak-anaknya.
Dan pada akhirnya, pendidikan sebagai
hak bagi seluruh warga negara merupakan salah satu kunci pokok dalam
penyelesaian masalah ini. Setiap remaja berhak memiliki tempat untuk mendapatkan
informasi dan menyalurkan pertanyaan-pertanyaan mereka yang mendesak akan
jawaban itu. Dan pendirian PIK (Pusat Informasi dan Konseling) di semua
sekolah, puskesmas, atau tempat apapun yang mudah diakses oleh para remaja adalah
satu dari sekian banyak solusi yang rasional untuk dijalankan. Pendidikan agama
dan karakter menjadi sebuah urgensi demi melihat bobroknya mayoritas remaja
Indonesia sekarang. Jadilah GenRe, Generasi Berencana yang kelak akan mengharumkan
negeri ini, menjadi bunga bangsa.
Saya yakin, dengan partisipasi penuh
semua lapisan masyarakat, kita bisa mewujudkan Indonesia yang cerdas bermoral.
Ayo, hapus air mata dan sinsingkan lengan baju! Kita bisa. Ya, kita pasti bisa!
Indonesia
Raya...
Merdeka...
Merdeka...
Hiduplah
Indonesia Raya!!!
MERDEKA!!! |
ada beberapa pihak yang bertanggung jawab sih menurut saya. pertama yang pasti keluarga sebagai unit terkecil. di luar keluarga ada sekolah yang juga turut andil dalam perkembangan. terus yang ketiga masyarakat. seorang anak akan tumbuh dalam tiga hal tersebut. ketika keluarga tidak memantau anak, sekolah cenderung mengedepankan IQ ketimbang EQ dan SQ, terus masyarakat juga tidak menerapkan sagsi sosial. anak akan merasa apa yang dilakuinnya bener.
BalasHapusIya kak, IQ, EQ dan SQ itu merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jika dalam keseharian masyarakat hanya ada salah satu aspek yang dianggap penting tanpa memperhatikan aspek lainnya, maka secara otomatis akan terjadi sebuah ketimpangan. Efek yang lebih buruk lagi, bentuk pemberontakan yang bisa saja muncul dari para remaja adalah melalui anarkisme moral untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam cara yang berbeda.
Hapusitulah pentingny pendidikan yg utuh dan fokus pada proses, bukan hanya pada tujuan bisa memperoleh nilai-nilai tinggi :D
Hapussetuju!!!
HapusSepertinya kondisinya sudah sedemikian parah saat ini, kalau dulu sebelum maghrib anak2 udah pada pulang kerumah sekarang malah sebaliknya. Coba perhatikan, justru ketika akan masuk waktu maghrib mereka pada berduyun2 turun ke jalan. Hhmmm...
BalasHapusBiasanya turun sebelum maghrib itu mau ngabuburit bang, hehe.
HapusTapi turut prihatin juga sih kalau lihat kondisi jalanan saat malam minggu di zaman ini. Boncengan sama yang bukan mahrom ditambah peluk-pelukan malah dianggap gaul -_-
inilah realitas sekarang... serba terbalik,pemuda harus berani berenang melawan arus... ^_^V
BalasHapussebagai generasi muda, saya mohon doanya ya, kakak sesepuh :)
Hapus