Sabtu, 17 Agustus 2013

Adakah Ia Sebuah Surga?

"Bagi mereka, esensi rumah lebih daripada itu..."
  
Semilir angin gersang berhembus. Hawa panas yang tak biasa terasa menjerat tubuh. Aku bersembunyi di balik tembok rasis yang menghilangkan jutaan nyawa tak berdosa serta merampas masa depan jutaan nyawa lainnya. Pupilku melebar, berkeliaran mencari pantulan cahaya yang kukenal. Nihil, semuanya asing bagiku. Aku hanya bisa berusaha sekuat hati untuk memaksa perasaanku agar lebih tenang. 

 Hari ini aku mendapat amanah baru, menjadi relawan medis utusan Republik Indonesia yang harus bertugas di daerah konflik Palestina-Israel, Gaza. Dentuman bom sesekali terdengar, bersahut-sahutan dengan takbir yang lantang dari bibir para pemuda dan anak-anak yang tak pernah menyerah. Semua membaur, menciptakan sebuah harmoni tanpa arti. Barak pengungsian terletak hampir di sudut paling ujung jangkauan mataku. Dengan tangan melindungi kepala dan badan yang dibungkukkan, aku memutuskan untuk berlari menuju barak itu –sebuah tenda darurat tempat korban perang serta wanita dan anak-anak dikumpulkan- sampai pada akhirnya seorang ibu berjilbab merah marun menyambut kedatanganku. Pandangannya teduh, membawa isyarat seolah perang telah lama selesai. Mungkin ia adalah seorang istri yang ditinggal perang oleh suaminya, atau ibu yang telah kehilangan buah hatinya akibat konflik ini. 

“Salam ‘alaikum,” ucapnya. 

“’Alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku. “Perkenalkan, nama saya Zahra, relawan medis dari Indonesia. Insya Allah saya akan berada di sini selama beberapa bulan kedepan.” 

“Semoga Allah memberkatimu, nak. Saya Umi Faras. Mulai sekarang tinggallah di barak ini. Kami sangat senang atas kehadiranmu.” 

“Terima kasih, Umi.” 

Awan senja kemerahan menari pulang, digantikan oleh datangnya langit hitam bertabur bintang. Aku menerawang jauh, berpikir seandainya aku dapat melihat menembus gelap malam dan mengetahui rencana Tuhan. Tanah ini terlalu suci untuk dijadikan ladang pertumpahan darah. Anak-anak itu terlalu berharga untuk mati terbunuh. Tuhan, apa yang sedang Kau rencanakan? 
*** 

Deru helikopter Apache menabuh gendang telinga. Bunyi rentetan senjata menunggu mangsa. Dengan perlahan aku membalut kaki seorang anak lelaki yang terkena ledakan bom. Namanya Zayed, bocah berusia 11 tahun yang begitu berani menentang Israel. Ia bersama teman-temannya adalah pejuang sejati, anak-anak yang tak takut mati. Mereka adalah pejuang yang melawan senjata canggih para tentara Zionis dengan tangan yang siap melemparkan batu. 

“Mengapa kalian begitu berani melawan tentara Zionis?” tanyaku seusai menangani kaki Zayed. 

“Karena kami punya hak untuk hidup, belajar dan bermain. Tapi orang-orang Israel merampas itu semua dari kami,” jawab salah satu dari mereka. Ucapan itu bernada sederhana dan terus terang. 

“Aku tahu itu kawan, dan itu bukanlah alasan yang salah.” 

Masih ada dua anak lain yang terluka, Hamza dan Aseel. Sedari tadi mereka merintih menahan pedih dan hanya meratapi darah yang tak kunjung kering. Aku memeriksa keadaan Aseel, lantas menemukan sesuatu yang ganjil. Sebuah luka menganga yang terlalu dalam bagi pergelangan tangan mungilnya bersarang tanpa kasih. Aseel harus segera diamputasi. Aku bersama rekanku memutuskan mengamputasi tangan kanan Aseel dengan peralatan seadanya. Proses amputasi selesai beberapa jam kemudian sementara hari mulai menenggelamkan mentari. Kami mengantar Aseel menuju barak pengungsian. 

Pengaruh obat bius yang hanya bertahan sebentar mulai hilang. Gadis kecil itu membuka mata, sarafnya mulai tajam kembali. 

 “Aseel, kau baik-baik saja?” Aku mencoba membuka percakapan. 

“Apa yang terjadi?” Ia bertanya dengan segenap kepolosan kanak-kanak. 

“Kami memutuskan mengamputasi tangan kananmu. Ledakan bom itu berdampak bahaya jika dibiarkan.”

Iris matanya yang berwarna coklat lumpur berkilauan, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia melihat tangan kanannya yang tak utuh lagi. Dalam sakit ia tersenyum. Senyum yang indah, sungguh seperti bunga. Anak perempuan yang masih 8 tahun itu tak gentar, tak takut pada apa yang dihadapinya. 

“Biarlah, yang hilang hanya sebelah kanan. Aku masih punya tangan kiri. Lihat! Bahkan ia masih berfungsi seperti dulu,” Aseel menggerakkan tangan kirinya. “Walau tak ditemani tangan kanan...” 

“Kau memang gadis pemberani, Aseel.” aku memujinya. “Hari sudah malam, maukah kau jika aku membacakan dongeng pengantar tidur untukmu?” 

“Aku sangat berterima kasih jika kau bersedia, Zahra.” 

Aku menceritakan padanya tentang kisah Gadis Berbaju Merah dan Serigala. Ia menyimaknya dengan khidmat. Ketika aku mengatakan bahwa gadis berbaju merah itu tidak pernah kembali ke rumahnya karena dimakan serigala, tiba-tiba ia memotong ceritaku. 

“Tidak, Zahra. Gadis berbaju merah itu tidak dimakan serigala. Tapi ia dibunuh oleh orang-orang Israel.” 

Aku tersentak, bagaimana bisa anak sekecil Aseel berpikiran seperti itu. Konflik panjang yang dialaminya telah meninggalkan trauma psikologis yang begitu hebat. Aku memandangnya lekat-lekat, ia masih terlalu muda untuk mengalami hal seberat ini. 

“Zahra, aku rindu ayahku. Sejak konflik ini ia pergi dan tak pernah kembali. Aku juga rindu rumahku yang hancur berkeping karena serdadu penjajah Zionis. Maukah kau menceritakan padaku tentang rumahmu disana?” Ia meminta dengan tulus. 

Aku memandangnya, menghela nafas dan mulai menjawab. “Bagiku, rumah adalah tempat yang menyambutmu dengan senyum, tempat yang membuatmu tentram di dalamnya. Dan –apa yang orang katakan rumah- milikku itu bukanlah sebuah rumah bagiku.” 

“Mengapa? Bukankah di negerimu banyak bangunan mewah yang bisa membuatmu tidur nyenyak?” 

“Kau tahu? Mungkin tempat yang kutinggali adalah salah satu dari bangunan mewah yang kau maksud. Tapi ia hanya indah dalam khayal, Aseel.” 

“Maksudmu?” ia tampak tak mengerti. 

“Aku tak suka individualisme yang ada disana. Orang-orang di rumahku terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing...” 

Hening. 

Aku mengajak Aseel keluar dari barak. Kami duduk di bawah pohon zaitun, diantara semak khurfeish.

“Sekarang giliranmu, Aseel. Ayo ceritakan padaku tentang rumahmu.” 

“Aku sedang merebut rumahku...” ia diam sesaat, melemparkan kerikil kecil disampingnya. “Dahulu aku tinggal bersama ayah di sebuah rumah sederhana, tapi penuh cinta kasih. Ayah bilang ibuku meninggal saat melahirkanku. Sejak kecil aku diasuh oleh adik ayah, Umi Faras.” 

“Jadi, Umi Faras itu bibimu?” 

“Ya, begitulah.” Aseel mengatur nafas, melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. “Rumah kami terletak di desa Al ‘Izariyah, sebuah desa yang indah nan damai. Tapi semua itu berubah ketika serdadu Zionis datang.” 

“Apakah rumahmu dekat dari sini?” 

“Lumayan... jika kau mau, aku akan menunjukkan padamu besok.” 

“Baiklah, Aseel. Lebih baik kau tidur sekarang, hari sudah larut. Ayo kita kembali ke barak.” 
*** 

Seperti janjinya, hari ini Aseel mengantarku ke desa Al ‘Izariyah, salah satu desa yang dibelah oleh tembok pemisah hasil kerja penjajah Zionis untuk mengurung warga Palestina. Aseel menghembuskan nafas kuat-kuat, lalu berkata “Bisakah kau membayangkan apa yang ada di balik tembok itu, Zahra?” 

“Aku tak pernah melihatnya, dan aku rasa untuk membanyangkannya pun aku tak sanggup.” 

“Rumahku terletak di balik tembok itu...” ia menunjuk pada satu titik. “Aku rindu ayah...” 

“Sabarlah Aseel, suatu saat nanti kau pasti akan bertemu dengan ayahmu.” Aseel tampak berpikir keras. Raut wajah yang biasanya seperti bunga kini tampak berbeda. Matanya tetap tertuju pada titik yang ia tunjukkan padaku beberapa saat lalu. 

“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku. 

“Rumah...” jawabnya dengan lirih. “Rumah yang abadi.” sambungnya. 

“Maksudmu?” tanyaku memperjelas. 

Aseel mengalihkan pandangannya padaku. Dan kali ini, untuk kesekian kalinya ia tersenyum, bagaikan bunga yang sedang mekar. Tiba-tiba timah panas dengan cepat menembus kepalanya. Cairan merah anyir tumpah begitu saja. Bunga yang sedang mekar itu tetap mekar, tapi tak merona lagi. Wajahnya yang lugu tiba-tiba pucat pasi seperti boneka yang patut dikasihani. Badannya tumbang ke pangkuanku. Jantungnya berhenti berdetak, nadinya berhenti berdenyut. Aku menggigit bibir, membendung tangis yang akan meluap. Tuhan, aku tak mampu melihat ini semua! 

“Innalilahi wa inailaihi raji’un....” hanya itulah kalimat terakhir yang mampu kuucapkan sebelum semuanya menjadi gelap. Suram. 

Aseel mungkin sudah tak ada lagi, tapi aku tahu satu hal: gadis kecil tak berdosa itu telah menemukan rumahnya, sebuah rumah yang abadi. 
*** 

Rumah bukan hanya soal atap yang dapat meneduhkanmu dari butir-butir hujan. Bukan sekedar pondasi yang dapat menahan berat tubuhmu. Bukan juga dinding kokoh yang menghalau gemuruh angin. Bagi mereka, esensi rumah lebih daripada itu. Rumah adalah tanah dimana kau dilahirkan dan sejak saat itu kau berkewajiban untuk mempertahankannya, bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu. 
(Dara Agusti Maulidya)

INFO:
Cerpen yang saya publikasikan di blog ini telah dibukukan bersama beberapa cerpen lainnya yang ditulis oleh Komunitas Nulis Bareng Peduli Bareng. Seluruh keuntungan penjualan akan digunakan untuk kegiatan sosial yang disalurkan melalui Indonesia Mengajar. Untuk pemesanan, dapat melalui Rumah 1000000 Cerita.
Read More..

Selasa, 06 Agustus 2013

Soya de Latte!

yumm !

Soya de Latte adalah brand yang saya berikan untuk produk susu kedelai yang sedang saya rintis bersama salah seorang teman. Kali ini saya akan mencoba untuk berbagi resepnya (atas permintaan Mas Riyan). 

Untuk membuat susu kedelai, yang diperlukan bukanlah modal yang besar, tapi ketekunan. Karena jujur saja, agak ribet membuatnya bagi orang-orang yang tak terbiasa. 

Bahan yang diperlukan adalah:
- Kacang kedelai 100 gram (banyaknya bisa disesuaikan)
- Air 
- Gula, jahe dan daun pandan (opsional) 

Cara membuat: 
1. Pilih kacang kedelai yang berkualitas baik. Rendam kacang kedelai selama kurang lebih 6 jam. Bersihkan dari kulit ari kedelai (hanya opsional). 
2. Blender kacang kedelai dengan ditambahkan sedikit air. 
3. Peras untuk mendapatkan sari kedelainya. 
4. Tambahkan air ke dalam sari kedelai hasil perasan, rebus sambil terus diaduk. 
5. Tambahkan gula, jahe dan daun pandan sesuai selera. 

Selamat mencoba!
Read More..

Kamis, 01 Agustus 2013

Serpih Tangis di Bumi Pertiwi




Oh, lihat Ibu Pertiwi...
Sedang bersusah hati...
Air matanya berlinang...
‘Mas intannya terkenang...



Salah satu bait yang terdapat dalam lagu berjudul “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Berulang kali, mungkin tak pernah terhitung telah berapa kali kita menyenandungkannya. Tapi, pernahkah kita renungkan maknanya? Apa yang tertuang dalam bait lagu ini sangat tepat untuk mewakili kondisi bangsa tercinta kita saat ini.

Indonesia, negara kaya yang terdiri atas lebih dari 237 juta penduduk ini masih saja diselimuti dengan berbagai masalah kependudukan, terutama bagi para remaja. Masalah yang sedang kita hadapi tidaklah sesimpel satu ditambah satu sama dengan dua, masalah yang konon tak bisa dipecahkan dengan rumus-rumus eksak paling canggih sekalipun.

Letak geografis Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini menimbulkan masalah tersendiri di daerah perbatasan. Misalnya tentang NAPZA. Bukanlah hal yang asing lagi tatkala kita mendengar kasus-kasus penyelundupan NAPZA melalui daerah perbatasan. Nun di tapal batas sana, ada beberapa pos perbatasan yang tidak dijaga dengan ketat, dan hal ini menjadi celah bagi masuknya NAPZA secara ilegal dan bebas ke Indonesia. Akibatnya, banyak penduduk Indonesia yang terjerumus ke dalam jurang NAPZA.

Salah satu patok batas Indonesia-Malaysia

Penggunaan NAPZA melalui jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dapat menularkan virus HIV dari satu orang ke orang yang lainnya. Hal ini tentu saja akan menyebabkan berkembangnya penyakit AIDS. Pada akhir tahun 2012, diperkirakan ada lebih dari 500 ribu penderita AIDS di Indonesia. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, apalagi mayoritas penderitanya adalah remaja, generasi yang diharapkan dapat meneruskan estafet pembangunan bangsa ini.

Dampak sosial dari industrialisasi sawit pun turut menyumbangkan permasalahan bagi Indonesia. Dari hasil survey yang dilakukan di salah satu daerah perkebunan sawit di Kalimantan Barat, pembangunan perkebunan sawit berbanding lurus dengan pembangunan tempat-tempat hiburan malam disekitarnya. Hal ini menyebabkan semakin bebasnya pergaulan para remaja disana, dan tak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak anak-anak tak berdosa yang lahir tanpa ayah.

Married by accident bukanlah hal tabu lagi bagi para muda-mudi saat ini. Telah terjadi pergeseran budaya yang sangat, sangat jauh dalam beberapa tahun belakangan. Nilai budaya dan norma kesopanan sudah banyak yang berubah –untuk tidak menyebutnya sengaja diubah- karena sebuah proses yang kerap kali kita sebut “era globalisasi”.

Masih segar dalam ingatan saya pada saat saya masih sangat kecil, mungkin masih duduk di bangku TK, banyak tayangan televisi yang menayangkan sanksi sosial bagi para pelanggar norma-norma yang berlaku saat itu. Film WARKOP DKI misalnya, ada satu adegan dimana Dono sedang berdua-duaan dengan seorang wanita pada malam hari dan dipergoki oleh petugas –seperti polisi syariat di Aceh- yang sedang melakukan ronda. Atas perbuatannya, Dono diwajibkan untuk segera menikahi wanita tersebut. Padahal, apa yang dilakukan oleh Dono dan wanita itu sudah sangat lazim dilakukan kaum muda saat ini. Dan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang melihatnya? Kebanyakan acuh tak acuh. Tak peduli.

Warkop DKI

Ada lagi satu adegan film yang lebih ekstrem sanksi sosialnya, tapi saya lupa judul filmnya. Dalam adegan itu, pasangan yang hamil diluar nikah dibawa ke suatu tempat, kemudian dicukur rambutnya hingga gundul dan diusir dari kampung tersebut. Semua warga menyaksikan prosesi itu, hingga tak dapat saya bayangkan betapa malu dan menyesal orang-orang yang melanggar norma-norma yang berlaku di daerah tersebut.

Beda dulu, beda sekarang. Jika diperhatikan dengan seksama, acara-acara yang ditayangkan oleh televisi kita saat ini sangat berbanding terbalik dengan zaman dulu. Bayangkan saja, saat pacaran sudah menjadi trend, saat kawin-cerai menjadi lifestyle, saat hubungan haram dilakukan tanpa rasa dosa... Hei, apa yang akan terjadi pada generasi muda mendatang?

Televisi dan internet merupakan media yang paling besar dan cepat mempengaruhi rakyat Indonesia. Menurut saya, untuk menanggulangi badai globalisasi yang tanpa filter itu, kita bisa memulainya dengan memilah tayangan dan situs apa saja yang boleh diakses oleh remaja seusia kita. Adapun untuk melakukan pencegahan dini bagi adik-adik kita yang baru menginjak usia remajanya, yang masih sibuk coba-coba demi menemukan jati dirinya, bisa dilakukan sosialisasi melalui dongeng dan wayang-wayangan di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Sedini mungkin, yang harus kita lakukan adalah memberikan pandangan dan pemahaman tentang mendidik anak dengan baik dan benar kepada para orang tua, guru pertama bagi anak-anaknya.

Dan pada akhirnya, pendidikan sebagai hak bagi seluruh warga negara merupakan salah satu kunci pokok dalam penyelesaian masalah ini. Setiap remaja berhak memiliki tempat untuk mendapatkan informasi dan menyalurkan pertanyaan-pertanyaan mereka yang mendesak akan jawaban itu. Dan pendirian PIK (Pusat Informasi dan Konseling) di semua sekolah, puskesmas, atau tempat apapun yang mudah diakses oleh para remaja adalah satu dari sekian banyak solusi yang rasional untuk dijalankan. Pendidikan agama dan karakter menjadi sebuah urgensi demi melihat bobroknya mayoritas remaja Indonesia sekarang. Jadilah GenRe, Generasi Berencana yang kelak akan mengharumkan negeri ini, menjadi bunga bangsa.

Saya yakin, dengan partisipasi penuh semua lapisan masyarakat, kita bisa mewujudkan Indonesia yang cerdas bermoral. Ayo, hapus air mata dan sinsingkan lengan baju! Kita bisa. Ya, kita pasti bisa!

Indonesia Raya...
Merdeka...
Merdeka...
Hiduplah Indonesia Raya!!!

MERDEKA!!!



Read More..