Kamis, 01 Agustus 2013

Serpih Tangis di Bumi Pertiwi




Oh, lihat Ibu Pertiwi...
Sedang bersusah hati...
Air matanya berlinang...
‘Mas intannya terkenang...



Salah satu bait yang terdapat dalam lagu berjudul “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Berulang kali, mungkin tak pernah terhitung telah berapa kali kita menyenandungkannya. Tapi, pernahkah kita renungkan maknanya? Apa yang tertuang dalam bait lagu ini sangat tepat untuk mewakili kondisi bangsa tercinta kita saat ini.

Indonesia, negara kaya yang terdiri atas lebih dari 237 juta penduduk ini masih saja diselimuti dengan berbagai masalah kependudukan, terutama bagi para remaja. Masalah yang sedang kita hadapi tidaklah sesimpel satu ditambah satu sama dengan dua, masalah yang konon tak bisa dipecahkan dengan rumus-rumus eksak paling canggih sekalipun.

Letak geografis Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini menimbulkan masalah tersendiri di daerah perbatasan. Misalnya tentang NAPZA. Bukanlah hal yang asing lagi tatkala kita mendengar kasus-kasus penyelundupan NAPZA melalui daerah perbatasan. Nun di tapal batas sana, ada beberapa pos perbatasan yang tidak dijaga dengan ketat, dan hal ini menjadi celah bagi masuknya NAPZA secara ilegal dan bebas ke Indonesia. Akibatnya, banyak penduduk Indonesia yang terjerumus ke dalam jurang NAPZA.

Salah satu patok batas Indonesia-Malaysia

Penggunaan NAPZA melalui jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dapat menularkan virus HIV dari satu orang ke orang yang lainnya. Hal ini tentu saja akan menyebabkan berkembangnya penyakit AIDS. Pada akhir tahun 2012, diperkirakan ada lebih dari 500 ribu penderita AIDS di Indonesia. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, apalagi mayoritas penderitanya adalah remaja, generasi yang diharapkan dapat meneruskan estafet pembangunan bangsa ini.

Dampak sosial dari industrialisasi sawit pun turut menyumbangkan permasalahan bagi Indonesia. Dari hasil survey yang dilakukan di salah satu daerah perkebunan sawit di Kalimantan Barat, pembangunan perkebunan sawit berbanding lurus dengan pembangunan tempat-tempat hiburan malam disekitarnya. Hal ini menyebabkan semakin bebasnya pergaulan para remaja disana, dan tak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak anak-anak tak berdosa yang lahir tanpa ayah.

Married by accident bukanlah hal tabu lagi bagi para muda-mudi saat ini. Telah terjadi pergeseran budaya yang sangat, sangat jauh dalam beberapa tahun belakangan. Nilai budaya dan norma kesopanan sudah banyak yang berubah –untuk tidak menyebutnya sengaja diubah- karena sebuah proses yang kerap kali kita sebut “era globalisasi”.

Masih segar dalam ingatan saya pada saat saya masih sangat kecil, mungkin masih duduk di bangku TK, banyak tayangan televisi yang menayangkan sanksi sosial bagi para pelanggar norma-norma yang berlaku saat itu. Film WARKOP DKI misalnya, ada satu adegan dimana Dono sedang berdua-duaan dengan seorang wanita pada malam hari dan dipergoki oleh petugas –seperti polisi syariat di Aceh- yang sedang melakukan ronda. Atas perbuatannya, Dono diwajibkan untuk segera menikahi wanita tersebut. Padahal, apa yang dilakukan oleh Dono dan wanita itu sudah sangat lazim dilakukan kaum muda saat ini. Dan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang melihatnya? Kebanyakan acuh tak acuh. Tak peduli.

Warkop DKI

Ada lagi satu adegan film yang lebih ekstrem sanksi sosialnya, tapi saya lupa judul filmnya. Dalam adegan itu, pasangan yang hamil diluar nikah dibawa ke suatu tempat, kemudian dicukur rambutnya hingga gundul dan diusir dari kampung tersebut. Semua warga menyaksikan prosesi itu, hingga tak dapat saya bayangkan betapa malu dan menyesal orang-orang yang melanggar norma-norma yang berlaku di daerah tersebut.

Beda dulu, beda sekarang. Jika diperhatikan dengan seksama, acara-acara yang ditayangkan oleh televisi kita saat ini sangat berbanding terbalik dengan zaman dulu. Bayangkan saja, saat pacaran sudah menjadi trend, saat kawin-cerai menjadi lifestyle, saat hubungan haram dilakukan tanpa rasa dosa... Hei, apa yang akan terjadi pada generasi muda mendatang?

Televisi dan internet merupakan media yang paling besar dan cepat mempengaruhi rakyat Indonesia. Menurut saya, untuk menanggulangi badai globalisasi yang tanpa filter itu, kita bisa memulainya dengan memilah tayangan dan situs apa saja yang boleh diakses oleh remaja seusia kita. Adapun untuk melakukan pencegahan dini bagi adik-adik kita yang baru menginjak usia remajanya, yang masih sibuk coba-coba demi menemukan jati dirinya, bisa dilakukan sosialisasi melalui dongeng dan wayang-wayangan di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Sedini mungkin, yang harus kita lakukan adalah memberikan pandangan dan pemahaman tentang mendidik anak dengan baik dan benar kepada para orang tua, guru pertama bagi anak-anaknya.

Dan pada akhirnya, pendidikan sebagai hak bagi seluruh warga negara merupakan salah satu kunci pokok dalam penyelesaian masalah ini. Setiap remaja berhak memiliki tempat untuk mendapatkan informasi dan menyalurkan pertanyaan-pertanyaan mereka yang mendesak akan jawaban itu. Dan pendirian PIK (Pusat Informasi dan Konseling) di semua sekolah, puskesmas, atau tempat apapun yang mudah diakses oleh para remaja adalah satu dari sekian banyak solusi yang rasional untuk dijalankan. Pendidikan agama dan karakter menjadi sebuah urgensi demi melihat bobroknya mayoritas remaja Indonesia sekarang. Jadilah GenRe, Generasi Berencana yang kelak akan mengharumkan negeri ini, menjadi bunga bangsa.

Saya yakin, dengan partisipasi penuh semua lapisan masyarakat, kita bisa mewujudkan Indonesia yang cerdas bermoral. Ayo, hapus air mata dan sinsingkan lengan baju! Kita bisa. Ya, kita pasti bisa!

Indonesia Raya...
Merdeka...
Merdeka...
Hiduplah Indonesia Raya!!!

MERDEKA!!!



8 komentar:

  1. ada beberapa pihak yang bertanggung jawab sih menurut saya. pertama yang pasti keluarga sebagai unit terkecil. di luar keluarga ada sekolah yang juga turut andil dalam perkembangan. terus yang ketiga masyarakat. seorang anak akan tumbuh dalam tiga hal tersebut. ketika keluarga tidak memantau anak, sekolah cenderung mengedepankan IQ ketimbang EQ dan SQ, terus masyarakat juga tidak menerapkan sagsi sosial. anak akan merasa apa yang dilakuinnya bener.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, IQ, EQ dan SQ itu merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jika dalam keseharian masyarakat hanya ada salah satu aspek yang dianggap penting tanpa memperhatikan aspek lainnya, maka secara otomatis akan terjadi sebuah ketimpangan. Efek yang lebih buruk lagi, bentuk pemberontakan yang bisa saja muncul dari para remaja adalah melalui anarkisme moral untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam cara yang berbeda.

      Hapus
    2. itulah pentingny pendidikan yg utuh dan fokus pada proses, bukan hanya pada tujuan bisa memperoleh nilai-nilai tinggi :D

      Hapus
  2. Sepertinya kondisinya sudah sedemikian parah saat ini, kalau dulu sebelum maghrib anak2 udah pada pulang kerumah sekarang malah sebaliknya. Coba perhatikan, justru ketika akan masuk waktu maghrib mereka pada berduyun2 turun ke jalan. Hhmmm...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya turun sebelum maghrib itu mau ngabuburit bang, hehe.
      Tapi turut prihatin juga sih kalau lihat kondisi jalanan saat malam minggu di zaman ini. Boncengan sama yang bukan mahrom ditambah peluk-pelukan malah dianggap gaul -_-

      Hapus
  3. inilah realitas sekarang... serba terbalik,pemuda harus berani berenang melawan arus... ^_^V

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebagai generasi muda, saya mohon doanya ya, kakak sesepuh :)

      Hapus